Dewasa
ini, hak-hak dan kewajiban seorang konsumen serta pelaku usaha sering
disinggung dalam kegiatan ekonomi ataupun perindustrian di Negara Indonesia.
Hal ini dikarenakan pembangunan perekonomian nasional harus mampu mendukung
tumbuhnya dunia usaha, sehingga mampu menghasilkan beraneka ragam barang dan
jasa yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Karena munculnya UU No.8 Tahun 1999 mengenai hak-hak dan
kewajiban seorang konsumen serta pelaku usaha, baik dalam lingkup barang
ataupun jasa, hingga promosi yang dilakukan, mampu membawa Lembaga Perlindungan
Konsumen swadaya Masyarakat, Badan Penyelesaian sengketa masyarakat dll ikut
andil dalam hal keamanan berbagai pihak yang terlibat didalam hubungan jual
beli mengenai perlindungan konsumen ini.
Dalam sub-bab mata
kuliah perlindungan konsumen, terdapat materi mengenai Produsen sebagai pelaku
usaha yang biasanya memiliki skema distribusi kepada grosir, pengecer dan
bahkan ada yang langsung kepada konsumen. Dalam proses pendistribusian yang
terbagi-bagi ini, pastinya menimbulkan
perbuatan serta dampak hukum yang berbeda-beda bagi setiap pelaku usaha hingga
menuju kepada konsumen.
Disini
saya akan menceritakan dan mendiskripsikan bagaimana kewajiban yang dilakukan
pelaku usaha agar mampu memenuhi hak hak seorang konsumen sehingga dalam hal
ini terciptalah kondisi yang saling menguntungkan antara pelaku usaha dan
konsumen. Kemudian juga mengenai permasalahan yang ada didalamnya.
Analisis ini dilakukan oleh kelompok tiga yang berorientasi
pada produksi pakaian, dan saya beserta kelompok mengambil wawancara di daerah
Botoran Tulungagung, dengan melakukan kunjungan ke daerah konveksi yang bernama
“Etty Collection” yang melayani Aneka pakaian seperti busana muslim, baju
anak-anak, mukena dll yang berorientasi pada produksi pakaian, dan konveksi ini
dimiliki oleh Bapak H. Abdul latif.
Berdasarkan sejarahnya Beliau bapak H. Abdul Latif memulai
usahanya pada tahun 1987, dan sampai sekarang. Sebelum benar benar menjadi
produsen, bapak latif terlebih dahulu menjadi seorang penjual, beliau
menjualkan barang dagangan milik orang lain kepasar pasar, ke daerah-daerah, dan
sampai sekarang beliau mampu memproduksi
barangnya sendiri hingga sampai kedaerah Malang, Ponorogo, Surabaya, Pasar
Tanah Abang dan bahkan Solo.
Sebelum mampu menjajaki daerah Surabaya, suatu hari bapak
latif bertemu dengan seseorang ketika menaiki kereta api menuju surabaya, bapak
yang ada disampingnya berkata “apa yang bapak bawa?” pak latif menjawab “dagangan
baju”, nanti coba turun distasiun daerah mojokerto ya pak, saya ingin melihat
dagangan bapak. Dan akhirnya ketika turun bapak tadi melihat lihatnya, hingga
akhirnya bapak itu membeli semua barang yang dibawa pak latif, setelah itu
beberapa minggu kemudian bapak yang membeli baju pak latif tadi menelepon untuk
dikirimkan lagi pakaian-pakaian. Dan sampai sekarang bisnis atau kerjasama
bersama penggrosir daerah Surabaya ini tetap berlanjut.
Dalam hal penjualan ini pak latif tidak memakai sebuah
perjanjian yang tertulis, namun memakai kebiasaan-kebiasaan yang terjadi dalam
sebuah perjanjian. contoh jika barang tersebut rusak, seperti kancing baju
lepas, reesleting rusak, ataupun kain sobek maka bisa dikembalikan dengan
digaanti yang baru, atau dalam hal ini terjadi pengembalian cirri (rusaknya
barang). Karena dalam pendistribusian barangnya pak latif hanya bersinggungan
dengan penggrosir, maka jika barang tersebut tidak laku bisa dikembalikan.
Seperti yang telah kita tahu, dalam sebuah bisnis seorang
pelaku usaha haruslah memiliki sifat atau sikap kehati-hatian, kepercayaan dan
kemudian tanggungjawab. Dan pak latif disini berani untuk mengambil resiko
tidak memberikan persyaratan dalam sebuah perjanjian dengan tidak melakukan
perjanjian hitam di atas putih, namun lebih kepada system kepercayaan. Pak
latif lebih mengutamakan kepercayaan kepada para penggrosir untuk menjualkan
barangnya, dan sampai sekarangpun Alhamdulillah tidak pernah terjadi pelanggaran
hukum atau complain dari masing-masing pihak, terutama dalam hal ini penggrosir
dan konsumen.
Dalam kegiatan usahanya pak latif biasa membuat barang sesuai
dengan pesanan dan juga sesuai dengan keinginannya sendiri, jika melalui
pesanan pak latif tidak lupa menanyakan desain, menanyakan bentuk dan segalanya
secara rinci, agar nanti ketika barangnya selesai di produksi hal itu tidak
membuat pemesannya kecewa, dan hal ini termasuk dalam kewajiban dari pelaku
usaha untuk memberikan pelayanan terhadap konsumen secara baik dan benar serta
tidak diskriminatif yang sesuai dengan UU No.8 Pasal 7 Tahun 1999.
Kemudian jika tanpa pesananpun pak latif sebagai pelaku usaha
juga tidak begitu saja menjual atau memberikannya kepada peggrosir, namun pak
latif memberikan sampel/contoh terlebih dahulu kepada pengecer untuk melihat
barang serta kualitasnya, apakah cocok atau tidak, jika tidak cocok pak latif
juga tidak memaksa untuk memberikan kepada penggrosir, hal ini juga termasuk
dalam hak yang harus diterima oleh konsumen serta kewajiban yang harus
dilakukan oleh pelaku usaha/produsen.
Namun, jika dalam waktu satu periode terdapat pakaian yang
tidak laku, maka bisa dikembalikan. Ketika terjadi kerusakanpun atau tidak
cocok dengan pesanan dalam hal ini pak latif serta penggrosir menyelesaikan
diluar pengadilan, dengan tidak memberikan ganti rugi berupa uang, namun lebih
kepada ganti rugi berupa barang, karena dalam hak ini objeknya jika terjadi
sengketa adalah berupa barang (pakaian) bukan makanan ataupun sesuatu yang
dikonsumsi. Hal ini termasuk dalam tanggungjawab pelaku usaha ataupun kewajiban
pelaku usaha untuk memberikan ganti rugi jika terdapat kesalahan atau tidak
sesuai dengan keinginan.
Namun, walaupun tidak
ada perjanjian secara tertulis dengan penggrosir, dan tidak ada perjanjian yang
disyaratkan, Hingga sampai saat inipun tidak pernah ada penggrosir ataupun konsumen
yang merasa dirugikan karena kesalahan dari pelaku usaha ataupun produsen yang
dalam hal ini pak latif, entah karena mereka menganggap hal itu tidak perlu
digugat atau dituntut atau karena hal itu sudah menjadi kelaziman atau
kebiasaan.
Kemudian dalam melakukan bisnis usahanya, penggrosir dapat
mengambil barang pak latif sesuka hati dan membayarnya tidak langsung tunai,
pak latif tidak pernah mensyaratkan jaminan atau yang lainnya, karena prinsip
yang digunakan oleh pak latif adalah prinsip kepercayaan, berapapun penggrosir
meminta barang akan dilayani dengan berapapun uang yang dimiliki oleh
penggrosir, walaupun selalu tidak sesuai dengan harganya dan nanti diakhir
periode akan ditotal semuanya dan jika terdapat return akan dicatat dan harus
selesai atau lunas diakhir periode yang dalam hal ini satu periode produksi
pakaian atau pembukuan dilakukan sebelum lebaran.
Dan akhirnya dapat diambil kesimpulan dari wawancara saya
dengan teman-teman kepada bapak H. Abdul latif sebagai pemilik konveksi “Etty
Collection” bahwasanya tidak terdapat pelanggaran-pelanggaran mengenai hak
konsumen didalamnya, serta tidak pernah terdapat tuntutan dari konsumen mengenai
barang yang dibelinya, serta produsen telah memenuhi kewajiban-kewajibannya
sebagai pelaku usaha yang termuat dalam Pasal 7 UU No. 8 Tahun 1999, kemudian
pelaku usaha (pak latif) dalam hal ini tidak melakukan perbuatan yang dilarang
yang termuat dalam pasal 8 ayat 2 yang bunyinya “pelaku usaha dilarang memperdagangkan
barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi
secara lengkap dan benar atas barang tersebut”.
Selanjutnya dalam hal jika terjadi perselisihan dalam hal ini,
pengembalian barang ketika terdapat cacat atau rusak, maka penyelesaian yang
dilakukan adalah diluar pengadilan, yaitu untuk mencapai kesepakatan mengenai
bentuk dan besarnya ganti rugi dan atau mengenai tindakan tertentu untuk
menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian
yang diderita konsumen yaitu dengan mengganti kerugian barang, atau mengganti
barang yang tidak cacat atau sesuai dengan yang informasikan, hal ini sesuai
atau termasuk dalam hal produsen terbuka atas ketidaknyamanan barang yang
diproduksinya kepada konsumen atau penggrosir dan membuka pintu
selebar-lebarnya dan mengakui kesalahan jika benar-benar produsen yang
melakukannya (terbuka terhadap komplein).
Kemudian dalam hal bisnisnya juga pak latif tidak memberikan kontrak tertulis kepada
pemborong apabila terjadi kerusakan dalam cirri barang maupun pengembalian,
namun lebih kepada kelaziman atau kebiasaan yang biasa terjadi dalam system
jual beli atau kerjasama pakaian, yaitu dengan memperbaikinya sesuai criteria
kerusakan.
Kemudian dalam mencari penggrosir atau pemborong pak latif
juga tidak seenaknya langsung menerima, namun dengan prinsip kehati-hatian
serta kepercayaan maka kerjasama dapat dilakukan hingga sekarang. Walaupun dalam bisnis usaha
sekarang ini banyak sekali penipuan
serta penggelapan yang sering terjadi guna mendapatkan keuntungan
sebanyak-banyaknya. Karena prinsip dari bapak H. Abdul Latif adalah KEPERCAYAAN
itu lebih bernilai dari pada JAMINAN. Walaupun awalnya ragu-ragu , namun jika
dilakukan terus menerus bisa menjadikan sebuah KEPERCAYAAN yang tertanam. Karena
kalupun ada jaminan kalau seseorang tidak memiliki I’ktikad baik, hal itu bisa
menjadi bomerang terhadap dirinya sendiri, beda jika iya memang memiliki
I’tikad baik, walaupun dimanapun, dan kapanpun pasti KEPERCAYAAN akan selalu
melingkupi masing-masing orang.
Dari wawancara tersebut kami memberika kritikan, bahwasanya
akankah lebih baik dan berhati – hati jika perjanjian tersebut dapat dilakukan
secara tertulis dengan perjanjian hitam diatas putih antara produsen dengan
penggrosir, agar nantinya hal-hal yang tidak diinginkan benar-benar dapat
diminimalisir atau benar-benar tidak akan terjadi.
Cara Anda menyajikan informasi cukup bagus, disertai foto. Koreksi saya, gunakan aturan penggunaan huruff besar dan kecil agar tulisan lebih sesuai kaidah bahasa. Nilai 80
BalasHapus