Selasa, 13 Oktober 2015

Produsen Pakaian dalam Menjalankan Kewajibannya


Dewasa ini, hak-hak dan kewajiban seorang konsumen serta pelaku usaha sering disinggung dalam kegiatan ekonomi ataupun perindustrian di Negara Indonesia. Hal ini dikarenakan pembangunan perekonomian nasional harus mampu mendukung tumbuhnya dunia usaha, sehingga mampu menghasilkan beraneka ragam barang dan jasa yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 
Karena munculnya UU No.8 Tahun 1999 mengenai hak-hak dan kewajiban seorang konsumen serta pelaku usaha, baik dalam lingkup barang ataupun jasa, hingga promosi yang dilakukan, mampu membawa Lembaga Perlindungan Konsumen swadaya Masyarakat, Badan Penyelesaian sengketa masyarakat dll ikut andil dalam hal keamanan berbagai pihak yang terlibat didalam hubungan jual beli mengenai perlindungan konsumen ini.

Dalam sub-bab mata kuliah perlindungan konsumen, terdapat materi mengenai Produsen sebagai pelaku usaha yang biasanya memiliki skema distribusi kepada grosir, pengecer dan bahkan ada yang langsung kepada konsumen. Dalam proses pendistribusian yang terbagi-bagi ini, pastinya  menimbulkan perbuatan serta dampak hukum yang berbeda-beda bagi setiap pelaku usaha hingga menuju kepada konsumen.



Disini saya akan menceritakan dan mendiskripsikan bagaimana kewajiban yang dilakukan pelaku usaha agar mampu memenuhi hak hak seorang konsumen sehingga dalam hal ini terciptalah kondisi yang saling menguntungkan antara pelaku usaha dan konsumen. Kemudian juga mengenai permasalahan yang ada didalamnya.

Analisis ini dilakukan oleh kelompok tiga yang berorientasi pada produksi pakaian, dan saya beserta kelompok mengambil wawancara di daerah Botoran Tulungagung, dengan melakukan kunjungan ke daerah konveksi yang bernama “Etty Collection” yang melayani Aneka pakaian seperti busana muslim, baju anak-anak, mukena dll yang berorientasi pada produksi pakaian, dan konveksi ini dimiliki oleh Bapak H. Abdul latif.

Berdasarkan sejarahnya Beliau bapak H. Abdul Latif memulai usahanya pada tahun 1987, dan sampai sekarang. Sebelum benar benar menjadi produsen, bapak latif terlebih dahulu menjadi seorang penjual, beliau menjualkan barang dagangan milik orang lain kepasar pasar, ke daerah-daerah, dan sampai sekarang  beliau mampu memproduksi barangnya sendiri hingga sampai kedaerah Malang, Ponorogo, Surabaya, Pasar Tanah Abang dan bahkan Solo.

Sebelum mampu menjajaki daerah Surabaya, suatu hari bapak latif bertemu dengan seseorang ketika menaiki kereta api menuju surabaya, bapak yang ada disampingnya berkata “apa yang bapak bawa?” pak latif menjawab “dagangan baju”, nanti coba turun distasiun daerah mojokerto ya pak, saya ingin melihat dagangan bapak. Dan akhirnya ketika turun bapak tadi melihat lihatnya, hingga akhirnya bapak itu membeli semua barang yang dibawa pak latif, setelah itu beberapa minggu kemudian bapak yang membeli baju pak latif tadi menelepon untuk dikirimkan lagi pakaian-pakaian. Dan sampai sekarang bisnis atau kerjasama bersama penggrosir daerah Surabaya ini tetap berlanjut.

Dalam hal penjualan ini pak latif tidak memakai sebuah perjanjian yang tertulis, namun memakai kebiasaan-kebiasaan yang terjadi dalam sebuah perjanjian. contoh jika barang tersebut rusak, seperti kancing baju lepas, reesleting rusak, ataupun kain sobek maka bisa dikembalikan dengan digaanti yang baru, atau dalam hal ini terjadi pengembalian cirri (rusaknya barang). Karena dalam pendistribusian barangnya pak latif hanya bersinggungan dengan penggrosir, maka jika barang tersebut tidak laku bisa dikembalikan.

Seperti yang telah kita tahu, dalam sebuah bisnis seorang pelaku usaha haruslah memiliki sifat atau sikap kehati-hatian, kepercayaan dan kemudian tanggungjawab. Dan pak latif disini berani untuk mengambil resiko tidak memberikan persyaratan dalam sebuah perjanjian dengan tidak melakukan perjanjian hitam di atas putih, namun lebih kepada system kepercayaan. Pak latif lebih mengutamakan kepercayaan kepada para penggrosir untuk menjualkan barangnya, dan sampai sekarangpun Alhamdulillah tidak pernah terjadi pelanggaran hukum atau complain dari masing-masing pihak, terutama dalam hal ini penggrosir dan konsumen. 

 

Dalam kegiatan usahanya pak latif biasa membuat barang sesuai dengan pesanan dan juga sesuai dengan keinginannya sendiri, jika melalui pesanan pak latif tidak lupa menanyakan desain, menanyakan bentuk dan segalanya secara rinci, agar nanti ketika barangnya selesai di produksi hal itu tidak membuat pemesannya kecewa, dan hal ini termasuk dalam kewajiban dari pelaku usaha untuk memberikan pelayanan terhadap konsumen secara baik dan benar serta tidak diskriminatif yang sesuai dengan UU No.8 Pasal 7 Tahun 1999.
Kemudian jika tanpa pesananpun pak latif sebagai pelaku usaha juga tidak begitu saja menjual atau memberikannya kepada peggrosir, namun pak latif memberikan sampel/contoh terlebih dahulu kepada pengecer untuk melihat barang serta kualitasnya, apakah cocok atau tidak, jika tidak cocok pak latif juga tidak memaksa untuk memberikan kepada penggrosir, hal ini juga termasuk dalam hak yang harus diterima oleh konsumen serta kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha/produsen.

Namun, jika dalam waktu satu periode terdapat pakaian yang tidak laku, maka bisa dikembalikan. Ketika terjadi kerusakanpun atau tidak cocok dengan pesanan dalam hal ini pak latif serta penggrosir menyelesaikan diluar pengadilan, dengan tidak memberikan ganti rugi berupa uang, namun lebih kepada ganti rugi berupa barang, karena dalam hak ini objeknya jika terjadi sengketa adalah berupa barang (pakaian) bukan makanan ataupun sesuatu yang dikonsumsi. Hal ini termasuk dalam tanggungjawab pelaku usaha ataupun kewajiban pelaku usaha untuk memberikan ganti rugi jika terdapat kesalahan atau tidak sesuai dengan keinginan.

 Namun, walaupun tidak ada perjanjian secara tertulis dengan penggrosir, dan tidak ada perjanjian yang disyaratkan, Hingga sampai saat inipun tidak pernah ada penggrosir ataupun konsumen yang merasa dirugikan karena kesalahan dari pelaku usaha ataupun produsen yang dalam hal ini pak latif, entah karena mereka menganggap hal itu tidak perlu digugat atau dituntut atau karena hal itu sudah menjadi kelaziman atau kebiasaan.

Kemudian dalam melakukan bisnis usahanya, penggrosir dapat mengambil barang pak latif sesuka hati dan membayarnya tidak langsung tunai, pak latif tidak pernah mensyaratkan jaminan atau yang lainnya, karena prinsip yang digunakan oleh pak latif adalah prinsip kepercayaan, berapapun penggrosir meminta barang akan dilayani dengan berapapun uang yang dimiliki oleh penggrosir, walaupun selalu tidak sesuai dengan harganya dan nanti diakhir periode akan ditotal semuanya dan jika terdapat return akan dicatat dan harus selesai atau lunas diakhir periode yang dalam hal ini satu periode produksi pakaian atau pembukuan dilakukan sebelum lebaran.

Dan akhirnya dapat diambil kesimpulan dari wawancara saya dengan teman-teman kepada bapak H. Abdul latif sebagai pemilik konveksi “Etty Collection” bahwasanya tidak terdapat pelanggaran-pelanggaran mengenai hak konsumen didalamnya, serta tidak pernah terdapat tuntutan dari konsumen mengenai barang yang dibelinya, serta produsen telah memenuhi kewajiban-kewajibannya sebagai pelaku usaha yang termuat dalam Pasal 7 UU No. 8 Tahun 1999, kemudian pelaku usaha (pak latif) dalam hal ini tidak melakukan perbuatan yang dilarang yang termuat dalam pasal 8 ayat 2 yang bunyinya “pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang tersebut”.

Selanjutnya dalam hal jika terjadi perselisihan dalam hal ini, pengembalian barang ketika terdapat cacat atau rusak, maka penyelesaian yang dilakukan adalah diluar pengadilan, yaitu untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita konsumen yaitu dengan mengganti kerugian barang, atau mengganti barang yang tidak cacat atau sesuai dengan yang informasikan, hal ini sesuai atau termasuk dalam hal produsen terbuka atas ketidaknyamanan barang yang diproduksinya kepada konsumen atau penggrosir dan membuka pintu selebar-lebarnya dan mengakui kesalahan jika benar-benar produsen yang melakukannya (terbuka terhadap komplein).

Kemudian dalam hal bisnisnya juga pak latif  tidak memberikan kontrak tertulis kepada pemborong apabila terjadi kerusakan dalam cirri barang maupun pengembalian, namun lebih kepada kelaziman atau kebiasaan yang biasa terjadi dalam system jual beli atau kerjasama pakaian, yaitu dengan memperbaikinya sesuai criteria kerusakan.

Kemudian dalam mencari penggrosir atau pemborong pak latif juga tidak seenaknya langsung menerima, namun dengan prinsip kehati-hatian serta kepercayaan maka kerjasama dapat dilakukan hingga  sekarang. Walaupun dalam bisnis usaha sekarang ini  banyak sekali penipuan serta penggelapan yang sering terjadi guna mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Karena prinsip dari bapak H. Abdul Latif adalah KEPERCAYAAN itu lebih bernilai dari pada JAMINAN. Walaupun awalnya ragu-ragu , namun jika dilakukan terus menerus bisa menjadikan sebuah KEPERCAYAAN yang tertanam. Karena kalupun ada jaminan kalau seseorang tidak memiliki I’ktikad baik, hal itu bisa menjadi bomerang terhadap dirinya sendiri, beda jika iya memang memiliki I’tikad baik, walaupun dimanapun, dan kapanpun pasti KEPERCAYAAN akan selalu melingkupi masing-masing orang.

Dari wawancara tersebut kami memberika kritikan, bahwasanya akankah lebih baik dan berhati – hati jika perjanjian tersebut dapat dilakukan secara tertulis dengan perjanjian hitam diatas putih antara produsen dengan penggrosir, agar nantinya hal-hal yang tidak diinginkan benar-benar dapat diminimalisir atau benar-benar tidak akan terjadi.


1 komentar:

  1. Cara Anda menyajikan informasi cukup bagus, disertai foto. Koreksi saya, gunakan aturan penggunaan huruff besar dan kecil agar tulisan lebih sesuai kaidah bahasa. Nilai 80

    BalasHapus

Silahkan Komentar :)